Kamis, 17 November 2016

Telepon dari Istanbul

Cerpen Vika Wisnu (Kompas, 23 Oktober 2016)

Telepon dari Istanbul ilustrasi Sunaryo/Kompas

Di Hagia Sophia seseorang lelaki asing menepuk bahu perempuan yang berdiri tak jauh di depannya dan bertanya, “Anda dari Indonesia?”. Si perempuan menoleh hingga rambutnya seolah melayang, mengiyakan dengan girang, ribuan kilo dari kampung halamannya di Pasuruan, ada yang mengenalinya, “Benar!” senyumnya lebar. Tapi takdir telah memilihkan akhir dari percakapan itu. Keduanya sama-sama terperanjat ketika mata mereka kemudian bersitatap. Beberapa detik tak bertuan sampai suara perempuan itu mengambil alih, “Apa kabar?”, nadanya sehalus arumanis hangat. Si lelaki tergeragap, lalu menukas lekas-lekas, “Oh, özür dilerim—saya minta maaf. Maaf. Salah orang.” Ia bahkan menolak berhenti sebentar atau sekedar menengok ulang, begitu terburu-buru. Perjumpaan memang bisa terjadi sesingkat itu.

Sebelumnya, waktu berporos pada bangunan dengan lengkung-lengkung gaya Byzantium, berpilar tinggi, mozaik-mozaik memenuhi langit-langit, indah dan rumit. Perempuan itu menengadah mencegah haru, rasa yang seringkali membuatnya seperti hendak tersedak. Di antara pendatang yang lalu lalang didekatinya salah satu, “Bolehkah aku minta tolong kau memotretku?” dilepaskannya tali kamera dari lehernya yang tertutup kerah pullover cokelat tua. “Tentu!” orang itu—pelancong juga—memastikan model dadakannya mendapat hasil terbaik. Si perempuan berpose serileks mungkin, sampai-sampai terlambat menyadari di hadapannya sebuah mihrab dengan gambar perawan suci memangku bayi. “Coba lihat dulu, sudahkah seperti yang kau mau?” sang turis ramah berusaha keras tak mengecewakan. “Wah! Bagus. Terima kasih banyak,” mereka pun saling takzim, bertukar lambaian tangan. Pada saat itu jubah Rumi melintas, berbisik lembut namun terdengar sangat jelas, “Tubuh adalah Maria; masing-masing kita mempunyai Yesus di dalamnya.”

Tubuh adalah matematika, hati adalah aljabarnya. Perempuan itu bukan hendak menyangkal, tapi ia telah hafal luar kepala, apa yang akan terjadi—bahkan untuk sedetik mendatang—tak pernah lebih dari ramalan, kepastian hanyalah untuk yang sudah. Dalam perhitungannya, sekalipun kecil, kemungkinan menemukan kembali lelaki yang tadi menepuk bahunya tetap ada, maka melangkah ia cepat-cepat. Sayang kerumunan begitu padat. Bumi menyusut dalam wujud museum, manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, besar-kecil, tua-muda, sendiri-bersama, meruahi semua arah dengan sinar mata seragam, terpesona. Ke mana harus mencari? Duhai, ke mana gerangan kau pergi? Perempuan itu mengambil telepon seluler dari saku, tapi berapa nomornya? Kecanggihan pun punya sisi percuma. Ia menghitung lagi, belum ingin putus asa, barangkali situs tua bekas gereja-bekas masjid termashur ini menerima cara-cara lama, sekuno memanggil-manggil nama tanpa pengeras suara, “Andrei… Andrei!”

Sampai petang, sampai gerbang pengunjung ditutup dan penjaga meminta semua tamu pulang, tetap tak ketemu. Suara beningnya pecah menjadi kwarsa, terbang terpungut angin senja.

“Halo, Aisha. Ini Ibu,” paraunya terdengar sampai nun jauh ke seberang. Badannya yang mungil telah menyisip ke dalam jantung kota Istanbul, keringat dingin menitik-nitik di liang renik batu padas sepanjang lapangan Taksim. Perempuan itu merasa tak tentu, teraduk, matanya berembun. Getar cemas seorang gadis remaja terdengar ketika ikonspeaker-on disentuh, “Ibu? Ada apa? Ibu kenapa?” Perempuan itu ingin sekali segera bercerita, ia baru saja berjumpa seseorang yang bertahun-tahun hanya dapat dipanggilnya dalam doa, lelaki yang mengenalkannya kepada rasa ingin memiliki, yang kemudian pergi jauh tak kunjung kembali. Lelaki yang tujuh belas tahun lalu memberinya seorang bayi. Di lidahnya sudah siap meloncat kalimat, “Ibu ketemu ayahmu!” tapi mulutnya seperti ketempelan lem kayu, bibirnya kaku.

“Ibu?” si Aisha mengulang pertanyaannya, “Ibu baik-baik saja?”

“Ibu baik-baik saja.”

“Kena flu? Kok, suaranya gi-tu?”

“Iya,” bunyi ingus disedot-sedot disela tawa yang diusaha-usahakan, “Wong ndesa, sekalinya ke luar negeri langsung lara.”

Hahaha…. “Ibu bawa obat kan? Bawa vitamin? Jangan kecapekan. Jalan-jalan, ya jalan-jalan, tapi jangan sok-sokan….”

Sendu berganti percakapan seru, topik silih-berganti seumpama siaran berita TV—baklava, roti Simit, permadani indah yang murah-murah, mata Fatimah, sampai titipan jersey bernomor punggung Arda Turan untuk pacar Aisha. Isu utama sudah hangus, hanya tersisa sebagai penutup, “Ada sesuatu yang mau Ibu beritahukan. Tapi…, nanti saja setelah Ibu pulang.”

Total dua puluh missed call dari kawan serombongan yang panik, perempuan itu membalas panggilan masuk berikutnya dengan nada bersalah, “Maafkan, saya tersesat.” Selanjutnya hanya terdengar ia menjawab dengan iya, iya, baik, baik, “Iya, saya baik-baik saja, saya akan menyusul ke hotel. Jangan khawatirkan saya.” Seharusnya ia tetap berada di tengah para manajer dan direktur. Rapat Umum Pemegang Saham memang sudah selesai, tugasnya menyiapkan dokumen negosiasi dengan perusahaan Turki sudah tunai, dan ini hari terakhir di kota seribu cahaya—saatnya rileks dan belanja, bebas berjalan-jalan ke mana saja, tapi kesepakatan yang berlaku harus tetap dipatuhi: dilarang menghilang!

Perempuan itu tahu rute termudah menuju Istiklal Cadessi, jalan tempat penginapannya berada, tapi bayangan seraut wajah menuntunnya menempuh arah lain. Diabaikannya tram dan kereta metro, dengan 50 lira tersisa dicegatnya taksi kuning dan dua menit berikutnya ia telah berada di kaki Galata Bridge.

“Andrei…,” sapanya yakin. Sesosok berjaket kelabu tebal sedang berdiri menerawang di salah satu sisi jembatan, lengannya menumpang pada pagar tembok setinggi pinggang.

“Andrei, saya tahu, kamu tak mau saya mengenalimu, tapi saya tak mungkin lupa padamu.”

Terperanjat sesaat, lelaki itu menoleh ke kanan, menengok ke kiri, mengitarkan pandangan, lalu dengan gerakan cepat meraih pergelangan si perempuan, “Ikut saya!”

Keduanya berjalan tergesa sekali, menerobos keramaian, hingga di sebuah sudut yang cukup terlindung mereka berhenti. Janggut dan cambang lelaki itu ikut bergerak meski ia bicara seperti berbisik, “Saya sedang bertugas di sini! Kalau kita terlihat, kamu dalam bahaya.” Matanya menatap gusar, “Hayati, katakan segera, sekarang juga, maumu apa?”

Yang ditanya agaknya lambat mencerna kata-kata yang penuh penekanan, pipinya justru merona tersipu, “Kau masih ingat namaku?”

Tentu saja-tentu saja, lelaki itu mengibaskan tangannya dan menghela nafas mencoba tidak terlihat kesal. Aku ingat namamu, aku pernah selama tiga bulan menjadi suamimu, kita kawin kontrak disaksikan Ayahmu dan penghulu Desa Kalisat Kecamatan Rembang tujuh belas tahun lalu. Tapi ikatan kerjaku dengan perusahaan sepatu di kotamu itu tak diperpanjang, mereka mencari tenaga ahli lokal yang lebih murah. Aku ingat kau mencegahku pulang ke negeriku dan memintaku menetap. Aku ingat kata-kata perpisahanmu, kau bilang kau hamil dan kelak akan menamai anak kita Aisha. Aku ingat semua, Hayati. Aku masih ingat semua, “Jadi sekarang, katakan maumu apa?”

Bibir si perempuan merekah takjub, ingin sekali dikisahkannya semua yang ia lakukan selama ini. Bekerja keras agar terus naik gaji, gajinya untuk membayar berbagai kursus agar terus naik pangkat dari sekedar buruh harian menjadi sekretaris direksi, semata-mata agar bisa pergi ke luar negeri, ke negerimu, Andrei! Tapi, toh, yang dilontarkannya berbeda, “Saya tidak menginginkan apa-apa, Andrei. Saya hanya mau sekali lagi melihat matamu.” Di hadapan wajahnya, sepasang elang yang menukik tajam sedikit demi sedikit melandai, alis tebal yang bertaut saling memisah bersama dengan irama yang turut melunak, “Hayati, saya telah memiliki keluarga baru. Saya menikah lagi empatbelas tahun silam, anak saya tiga.”

“Di mana keluargamu?”

“Mereka tinggal di suatu tempat yang aman.”

“Maksudmu?” sekarang perempuan itu mulai merasa ingin tahu.

“Hayati, kamu tidak akan mengerti. Saya bukan lagi Andrei insinyur Rusia berdasi yang bekerja di pabrik sepatu. Tugas saya sekarang sangat berat, tapi semuanya sepadan.”

“Andrei….,” lalu lalang perahu-perahu kecil menjajakan roti isi tuna balik ekmek, perahu-perahu besar mengangkut ratusan orang berpesiar dari berbagai asal, “Apa kerjamu sekarang?”

“Bayaran saya lebih dari sekedar untuk hidup di dunia. Istri saya mendukung penuh, bahkan anak sulung saya akan segera mengikuti jejak saya.”

“Apakah…, apakah pekerjaanmu berbahaya?”

“Dengar, saya senang bertemu kau lagi. Tapi sekarang kembalilah ke hotelmu, bersikaplah biasa. Dan bila ada orang yang menanyaimu tentang saya, katakan kau tak tahu apa-apa.” Lelaki itu menggeser bahunya, menurunkan kepala seolah ingin sedekat mungkin dengan kuduk lawan bicaranya ketika mendesiskan, “Saya bukan lelaki baik seperti yang kau kira.”

Angin dari Selat Bosphorus menerbangkan uap garam ke Teluk Haliç, kesat di pori-pori kulit dan kerongkongan. Kepala Hayati sekonyong-konyong diinvasi bayangan, lelaki yang hampir seharian dicarinya ini, di balik baju hangatnya sedang membawa senjata entah apa, hendak memburu dan melukai entah siapa. Rasa jeri merambati, tapi lehernya tetap ia tegakkan demi menepis prasangka, lalu selembut mungkin menukas, “Saya tahu, tapi kau juga tak seburuk dugaanmu.”

Andrei mengabaikannya dengan berbalik arah, pergi bergegas dengan langkah panjang-panjang, tapi sebelum terlalu jauh tahu-tahu ia berhenti, hanya untuk menanggalkan syal kasmir yang melingkari lehernya, melemparkannya ke arah Hayati dan memicing untuk terakhir kali, “Jangan mencari saya lagi!”

Tujuh puluh dua jam kemudian bandar udara Atatürk lumpuh, orang-orang panik, ratusan luka parah, puluhan rebah jadi jenazah, semua warga sipil dievakuasi, seluruh jadwal penerbangan dibatalkan. Teridentifikasi, Andrei Vadinov, martir sebuah jaringan global, meledak bersama tabung-tabung hidrogen peroksida yang membebat dadanya. Hayati menahan nafas, punggungnya baru saja menyentuh sandaran jok belakang taksi biru yang siap membawanya keluar dari Juanda. Apakah itu yang Andrei maksud dengan tugas? Yang seharusnya ia kerjakan tiga hari lalu ketika mereka tak sengaja bertemu? Perempuan itu menengadah, mencegah haru, tapi kali ini rasa itu benar-benar membuatnya tersedak, tercekik melankolia. Sejak awal ia telah dipahamkan, tak perlu terlalu cinta untuk segala sesuatu yang sementara, belasan pekan saja dari masa remajanya dibanding sekian tahun kehidupan sesudah itu, harusnya tak berarti apa-apa. Andrei, apakah kau sengaja menundanya sampai aku pulang? Suara daun-daun jati bergesekan menerobos sela kaca jendela yang diturunkannya pelan-pelan, pucuk-pucuk hijau kecokelatan mengayun canggung, mengangguk membenarkan.

Tujuh belas tahun lalu yang berjajar di sepanjang jalan di tepian tahura—taman hutan rakyat—Kedung Pengaron ini adalah pokok-pokok kerempeng setinggi tongkat pramuka, kambium telah mencetak garis lingkaran berdiameter panjang pada setiap batang, menjadikannya kini pohon-pohon tinggi menjulang siap tebang. Dulu, almarhum ayahnya ingin mati dengan meninggalkan banyak warisan. Untuk itu Hayati dikawinkan, karena tinggal dia satu-satunya yang perawan, maharnya lebih besar, cukup untuk ditukar dengan lahan sekitar tiga setengah hektar. Ayah berwasiat, kelak hasilnya harus dibagi rata untuk istri dan tiga anak gadisnya. Apa yang ditukar Andrei untuk diwariskan? Apa yang nanti akan anak dan istrinya dapatkan? Dan di manakah gerangan itu, yang disebutnya sebagai suatu tempat yang aman?

Hayati menunduk, mencari nama teratas di daftar kontak, “Halo, Aisha….”

“Ibu? Ibu sudah sampai di mana?” jawaban riang penuh semangat, seolah yang terdengar adalah suara yang telah ditunggu berabad-abad.

“Sudah dekat rumah, Sayang. Ibu membawakanmu sesuatu,” aroma zaitun tercium dari sehelai kain serupa selendang yang digenggam perempuan itu dengan perasaan tak tentu, teraduk dan mata berembun, “Titipan dari ayahmu.” (*)

 

 

Vika Wisnu, sehari-hari mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Untag Surabaya. Menulis fiksi dan puisi sebagai cara belajar dan meneliti yang menyenangkan. Tahun 2016 ini, tiga karyanya turut diterbitkan dalam buku antologi puisi Kamus Kecil Tentang Cinta(PadMedia). Dapat dihubungi melalui Twitter/IG @vikawisnu.

@lakonhidup.wordpress.com, @legendofadhitya.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar